Di sebuah sungai perdalaman hutan,
hiduplah seekor ikan yang senang bermain
di dekat permukaan air. Setiap hari ikan tersebut bermain-main dengan
memperlihatkan sebagian kecil dari wajahnya kepermukaan sungai. Sesekali ekor
mungilnya mengibas-ibaskan air sehingga muncul gemericik air sungai ke
permukaan. Kalau sudah begitu, tidak ada satu ekor ikanpun yang mampu mencegah
tindakan berbahayanya.
Suatu hari, ikan kecil
tersebut meminta ijin kepada orangtuanya untuk bermain di batu terlarang,
sontak kedua orangtua ikan kecil marah. Batu terlarang merupakan perbatasan
antara ikan dan buaya. Setiap ikan yang mendekat ke wilayah tersebut pasti di
terkam buaya.
“bermain di permukaan
saja sudah membuat ibu khawatir dika, apalagi pergi ke wilayah batu terlarang”
ucap ibu dika. Dika adalah nama dari ikan kecil itu.
Dika si ikan kecil merasa
kecewa dengan ucapan ibu. Tapi, dika tidak pernah membatah apapun yang di
ucapkan orangtuanya, dika hanya terdiam kemudian menangis sedih di kasur
kamarnya yang terbuat dari tumpukan batu dan di tumbuhi oleh rumput-rumpuh laut
di sisi kirinya. Untuk saat ini, hanya tumpukan batu yang bergambarkan
pertualangan-petualangan dika lah yang di rasa dapat mengerti perasaan dika
saat ini batin dika.
Kakek kodok yang di
tolongnya saat tergelicir di ujung batu sungai, karena kakinya terluka. Ibu
kura-kura yang kelelahan berenang ketika akan melahirkan, kemudian dika
membantu mendorongnya ketepi sungai, kupu-kupu yang bernyanyi di atas permukan
laut kemudian mereka bersahabat dan saling bercerita tentang dunianya. Dika mengeja
satu persatu teman-teman baru yang ditemuinya saat berpetualang di permukaan
air.
“indah si kupu-kupu”
batin dika, dika tiba-tiba berenang dan tertawa kegiraan. “indah si kupu-kupu,
pasti dia dapat membantuku untuk melihat seperti apa batu terlarang”
Dengan semangat
petualangnya dika menemui sahabatnya indah sikupu-kupu
“Assalamualaikum
indah…”
Indah
yang sedang tertidur di kucup bunga melati yang sedang mekar tersontak kaget
mendengar suara dika
“Wa..wa’alaikum
salam” jawabnya dengan nada agak kesal.
“iya,
iya.. ma’af, sudah mengagetkan mu. Heheheee…”
Kemudian
dika mencipratkan sedikit air dengan ekornya kepermukaan, yang mengenai
sayap-sayap indah.
“Heheee…
indah kena”
Indah
si kupu-kupu membalas perbuatan dika dengan meniupkan sari-sari bunga, kedua
sahabat itu bermain dan tertawa. Usai bermain dan tertawa, dika menyandarkan
sirip-sirip kecilnya ke batu besar yang ujungnya berada di atas air sedangkan
indah membiarkan sayap-sayapnya terjemur matahari di atas permukaan bunga mawar
yang sedang bermekaran.
“indah, ada yang ingin aku bicarakan
padamu. Bisakah aku meminta tolong agar kau pergi ke batu terlarang?”
Indah
yang sedang duduk santai diatas bunga mawar, terkaget dan terbang ke sisi batu
“Batu terlarang, tempat para buaya?
Oh… tidak, aku tidak bisa dika”
“Tolonglah indah, aku ingin sekali
tahu seperti apa batu terlarang. Tapi kedua orangtuaku melarangnya. Aku hanya
ingin kau terbang tinggi ke batu terlarang kemudian menceritakan kepadaku seperti
apa kehidupan mereka”
“ma’af dika, aku tidak bisa. Aku
takut. Meskipun aku bisa terbang tinggi”
“baiklah, aku akan menemanimu. Agar
kau tidak takut saat terbang di atas batu terlarang”
“tapi itu sangat berbahaya dika”
“tenang saja, aku hanya berenang
sampai keperbatasan batu terlarang dan desa antic. Aku berjanji tidak akan
melebihi wilayah itu. Dari situ aku akan mengawasimu dan memberimu kode jika
terjadi sesuatu yang berbahaya”
“tapi… ya sudah aku akan menolongmu,
tapi hanya satu kali ini saja ya ke batu terlarang”.
Pagi-pagi sekali, kedua sahabat ini
memulai petualangannya. Mereka menyusuri arus yang cukup deras dan sesekali
berhenti karena turun hujan. Pernah sekali, ekor dika terjerat tumbuhan
berduri. untung saja dika bisa terlepas dari jeratan tumbuhan tersebut. Dika menggigit
duri yang ada didepannya dan memaksakan tubuhnya untuk maju. Meskipun terluka,
tapi dika bersyukur telah selamat dari kejadian tersebut.
Indah dan dika hampir telah sampai
di perbatasan desa antic, di depan sana sudah terlihat wilayah batu terlarang.
Tumpukan batu yang menjulang tinggi hingga kepermukaan air merupakan perbatasan
wilayah mereka. Konon, nenek moyang bangsa ikanlah yang menggumpulkan batu dari
dasar sungai dan menyusun batu tersebut menjadi satu agar bangsa ikan terbebas
dari serangan buaya. Para buaya tidak pernah menyentuh perbatasan tersebut,
karena di balik batu-batu tersebut dipasang perangkap-perangkap yang dapat
melukai buaya apabila mereka memaksa untuk menerobos batu. Sebab itulah batu
tersebut dinamakan batu terlarang.
Setelah sampai diperbatasan, dika
memberikan intruksi kepada indah “terbanglah yang tinggi sahabatku, kemudian
sembuyilah dibalik dedaunan. Lihat dan dengar apa yang para buaya bicarakan.
Aku tidak dapat berenang lebih jauh, karena telah berjanji kepada orangtuaku
tidak mendatangi wilayah batu terlarang. Tapi aku akan memberikan mu kode,
dengan pecikan air melalui kibasan ekorku”
Indah yang ketakutan hanya
mengganguk dan terbang tinggi mengikuti pemintaan temannya, pelan-pelan indah
hingga di antara dedaunan yang lebat sehingga kawanan buaya tidak menyadari
kehadiran indah. Melihat kondisi kawanan buaya yang memakan daging ayam hutan
dengan lahap, perut indah jadi terasa mual dan merasakan pusing. Dengan
sayapnya indahnya, indah sikupu-kupu menutupi hidugnya.
“untung saja aku memiliki sayap,
kalau tidak bisa pingsan aku disini”
Belum
selesai kengerian indah, dia sudah mendengar perbincangan kawanan buaya yang
akan mendobrak batu terlarang. Indah mengosok-gosok telinganya “Jangan-jangan,
aku salah dengar.. tidak… aku tidak salah dengar”
Secepat kilat indah terbang kearah
dika, “huhuuuhu..” dengan nafas terengah-engah indah bercerita tentang rencana
para buaya “tenang indah, ambil nafas dulu. Supaya bicara mu tidak
terengah-engah. Aku tidak mengerti ucapanmu”
“buaya akan mendobrak batu terlarang
dengan kayu, mereka akan…”
Belum
selesai indah berbicara, dika sudah berenang kembali ke desa antic. “tunggu
dika, tunggu”. Dika yang kaget dengan ucapan indah, tidak menghiraukan ucapan
indah. Bukannya tidak perduli, tapi dika harus menyelamatkan desanya.
Sesampainya
di desa, dika menceritakan hal tersebut kepada teman-teman dan warga sekitar,
tapi mereka hanya tertawa. “dika, dika… kamu ada-ada saja”
Orangtua
dika pun tidak percaya, “mungkin temanmu kecapean jadi salah dengar, sudah
sekarang kamu makan trus istirahat”.
Dika
bingung, dika tidak bisa tidur sepanjang malam. Hanya bolak-balik dari
kamarnya. Akhirnya dika memutuskan untuk membuat persembunyian yang cukup untuk
menampung ikan-ikan di desa antic jika diserang buaya, wilayah kakek kodok yang
dekat dengan permukaan air dipilihnya sebagai tempat yang strategis. Disana
juga ada keluarga kakek kodok, pasti mereka mau membantu dika untuk mencarikan
persembunyian.
Minggu demi minggu, dika membuat
persembunyian di desa kakek kodok dengan dibantu sahabat-sahabatnya yang dika
kenal saat bermain di permukaan air dan indah sikupu-kupu juga siap membantu
sahabatnya dika. “indah, maaf ya waktu itu dika ninggalin indah. dika
terburu-buru”.
“iya dika, gak papa.. indah ngerti
kok”. Kedua sahabat itu tersenyum.
Pagi hari saat dika sedang sarapan.
seekor ibu ikan gendut dari pasar berteriak dan berenang cepat, dengan
keranjang belanjaan yang masih ada disirip sang ibu ikan gendut berteriak
dengan kencang “Buaya… buaya, ada buaya”. Ikan-ikan di desa antic merasa heran,
mereka tidak percaya dengan ucapan ibu ikan gendut. Dika yang mendengar terikan
tersebut langsung berenang ke teras rumah, disana dika telah menyiapkan
peralatan perangnya.
Dengan sigap dika, memasang
rumput-rumput yang berisi tinta keluarga cumi yang dia dapatkan dari burung
laut dan dengan menggunakan mulutnya dika memasang tumbuhan berduri. Kemudian,
dika berlari ke atas dengan berteriak kencang “Kepada masyarakat desa antic,
dengar dan ikuti kemana dika berenang”. Suara kawanan buaya yang makin dekat
membuat warga desa antic menjadi panic. Hal tersebut telah diprediksi dika,
kemudian dika menyakan lampu yang dipasang di atas kepalanya sebagai tanda
bahwa dika memiliki solusi. Warga yang panic mengikuti kemana dika berenang,
sedangkan kawanan buaya tidak dapat melihat karena tertutup tinta cumi dan
menginjak tumbuhan berduri.
Dika membawa warga desa antic ke
desa bersama tempat kakek kodok tinggal, disana mereka merasa lega telah
terselamatkan dari kawanan buaya yang siap menerkam mereka. “Terimakasih dika,
maaf kami tidak mempercayaimu sebelumnya”. Gemuruh suara warga bersorak atas
perbuatan baik dika. Ibu dan bapak dika tersenyum dan memberikan pelukan hangat
kepada dika. Kini mereka tingga di desa bersama, disana hidup berbagai jenis
hewan seperti keong, cacing tanah, kodok dan dika merasa senang karena dapat
bermain di permukaan dan hidup dekat dengan teman-temannya seperti indah
sikupu-kupu.