Jumat, 19 Juni 2015

Batu Akik

Lelaki itu masih saja sibuk memilih batu-batu akik yang sesuai dengan warna kulit dan bentuk sempurna.
            Satu, dua, tiga, empat… Mimi memperhatikan setiap orang yang masuk ke toko pak marno untuk mencari batu akik, termasuk lelaki itu.
            “ayo… beli aku, beli aku. Pasang aku di jarimu” teriak mimi
Dan lagi-lagi mimi harus kecewa karena tidak terpilih. Hampir 6 bulan mimi berada dikotak itu, tapi tak ada satu tangan pun yang menyentuhnya. Setelah seharian letih berteriak-teriak, akhirnya mimi tertidur pulas hingga fajar tiba.
“dimana aku?”
Mimi mengusap kedua matanya, kanan dan kirinya terasa sesak. Begitu banyak tumpukan batu akik ada di kardus bekas mie itu. “apa yang terjadi?” batinya
“Kamu di pindahkan pak marno semalam” jawab salah satu penghuni kardus.
            Mimi mencoba mengingat-ingat kejadian semalam “percuma aku tidak dapat mengingatnya”. Mimi mulai menerka-nerka apa yang terjadi mungkinkah ada seorang pemborong yang membeli batu akik, kemudian mimi dipindahkan kedalam kardus ini atau mungkin pak marno mengadakan pameran dan mempersiapkan kami.
            “hahaaa….ukuh, ukuh”. Suara ketawa dan batuk batu tua terdegar keras memekakan telinga mimi, batu tua itu tepat disamping kiri mimi.
            “kamu tidak laku, jadi ditaruh disini. Kardus ini digunakan untuk batu-batu yang tidak layak jual lagi”
            “tidak… tidak laku, tidak layak jual”. Kalimat tersebut terus mengiang-iang dikepala mimi dan perlahan, mimi dapat kembali mengingat kejadian tersebut.
“Sore itu, Aku sedang berteriak kepada lelaki untuk memilihku tetapi dia tidak memperdulikannya. Aku kecewa kemudian memalingkan arah kepada pembeli lain. Tak disangka sesaat setelah memalingkan wajah, lelaki tadi mengangkatku dari kotak batu. Aku senang sekali dan berteriak-teriak gembira, Aku tahu lelaki itu akan membeliku. Tapi anak kecil yang berdiri disampingnya menarik-narik baju dengan keras karena ingin melihatku, sampai aku terjatuh. Aku berteriak keras sampai pingsan”. Mimi mencerikan kejadian tersebut dengan linangan air mata, bekas luka akibat jatuh masih ada di badan mimi. Sebuah goresan panjang berada di dalam tubuh mimi, lelaki itu hanya mengganti rugi kerusakan tanpa membawa mimi.  
            Hari itu, mimi tidak henti-hentinya menangis. Harapannya musnah setelah berbulan-bulan berusaha untuk mencari pembeli. Kini dia harus menghadapi kenyataan, bahwa dirinya tak layak jual. Hari telah berganti minggu, dan minggu berganti bulan  tapi mimi tak berganti nasib. Dia masih saja menangis.
             Suatu saat, pak marno hendak melakukan renovasi terhadap tokonya, dinding-dinding tembok diberi sentuhan seni suapaya pembeli lebih nyaman didalamnya. Mimi salah satu batu yang terpilih menjadi pemanis dinding bersama batu-batu yang berada di dalam kardus.

            Mimi tetap tidak mengerti apa yang harus dia rasakan sekarang. Harus senang karena dipajang di dinding atau sedih karena tidak menjadi pemanis jari. Setelah berhari-hari berlalu, akhirnya mimi mengerti harus bagaimana. Iya.. Mimi bersyukur menjadi pemanis dinding, dia tahu tidak akan merasakan sakitnya jatuh ke lantai, dia tau saat menjadi pemanis dinding tak akan mudah diganti-ganti seperti yang dilakukan pemilik cincin apabila telah bosan. Dan dari dinding, mimi dapat memberikan semangat kepada teman-temannya yang memiliki nasib yang sama sepertinya dulu. 

Kamis, 18 Juni 2015

Lube Cacing Dan Koksi Kumbang

Lubee adalah seekor cacing yang hidup di tanah ladang, setiap hari lubee bekerja bersama koksi kumbang untuk membantu petani menyuburkan tanaman. Lubee memulai pekerjaannya dengan memakan daun jatuh kemudian membawanya ke dalam tanah, sehingga terdapat pori-pori tanah untuk bernafas. Kotoran lubee juga bermanfaat untuk tanaman, karena menggandung hormon-hormon tertentu yang tidak dimiliki  kompos biasa sedangkan koksi bekerja dengan memangsa serangga yang menggangu tanaman seperti kutu-kutu daun.
Lubee dan koksi menyenangi pekerjaannya tersebut, mereka mengerjakan dengan riang hati dan bersemangat. sesekali mereka saling bercengkrama dan saling melindungi. Saat lubee kepanasan, koksi menutupi dengan daun-daun yang dijatuhkan dari atas tanaman dan saat koksi kehujanan, lubee membuatkan tempat berlindung dari tanah.
Suatu hari, teira belalang berkunjung ke ladang. Teira inggin mengetahui pekerjaan yang di lakukan lubee dan koksi, menurut teira pekerjaan tersebut sangatlah membosankan. Teira mengamati lubee dan koksi bekerja sambil bermalas-malasan di atas daun yang teduh.
“Lubee, Koksi mari kita bermain. Kalian tidak lelah bekerja sepanjang hari?”
“maaf teira, pekerjaan ini harus sudah selesai sebelum hujan turun” ungkap koksi, cuaca hari ini memang mendung.
Teira berfikir keras, agar mendapatkan teman untuk bermain. Segala usaha di lakukan teira agar lubee dan koksi ikut bermain bersamanya. Sampai akhirnya, teira mendapatkan ide untuk memecah persahabatan mereka. Saat lubee sedang masuk ke dalam tanah. Teira mendekati koksi
“Koksi, kenapa kamu mau berteman dengan lubee. Tiap hari kamu melindungi lubee dari hewan-hewan pengganggu tanaman tapi pak tani hanya menganggap lubee paling berjasa terhadap tanamannya”.
Koksi tidak bergeming, koksi menyakinkan kalau mereka saling bekerjasama untuk membantu pak tani.
“kamu bekerjas seharian, tapi kamu tidak tau apa yang dilakukan lubee di dalam tanah, bisa saja dia sedang tidur sekarang”.
Koksi hanya tersenyum, dengan sangat yakin dia menjawab bahwa temannya sedang sibuk di bawah sana, bekerja untuk membuat pori-pori agar tanah dapat bernafas. Teira kebingungan, hampir semua pertanyaan yang di ajukan koksi jawab dengan penuh keyakinan kepada sahabatnya lubee. Akhirya teira mendapatkan ide, untuk membuat cerita palsu bahwa lubee sering menjelek-jelekan koksi. Teira menceritakan bahwa lubee pernah mengatakan koksi hanya duduk santai di atas daun sambil memakan hewan-hewan kecil, tapi lubee harus kepanasan menggemburkan tanah dan membuat pupuk dari daun. Tanpa koksi, lubee dapat menyuburkan tanaman tapi koksi tidak pernah berterimakasih kepada lubee karena mengijinkan untuk koksi tinggal bersama nya.
Mendengar cerita tersebut, telinga koksi menjadi merah. Koksi marah sahabatnya tega membicarakan hal tersebut kepada oranglain. Bukankah lubee pernah berjanji akan saling menjaga dan melakukan pekerjaan bersama-sama. Pada saat itu juga, koksi turun ke bawah pohon dan memanggil lubee.
“Lubee keluar kamu dari dalam sana”
Lubee yang sedang membuat pori-pori tanah, kaget mendengar teriakan koksi. Dengan wajah bingung lubee keluar dari tanah.
“Ada apa koksi? Apakah terjadi sesuatu di atas sana?”.
Koksi menumpahkan semua kekecewaannya kepada lubee, lubee bingung dan menjelaskan bahwa semua salah paham. Tapi koksi tidak mau mendengarkannya, ia pergi dari ladang bersama teira.
            Lubee yang sedih karena di tinggalkan koksi tetap menjalakan pekerjaan seperti biasanya, tapi sekarang lubee kesulitan untuk mengusir hewan-hewan pemakan daun. Lubee tidak pernah mencari pengganti koksi, hal-hal yang di sukai koksi seperti main lempar daun masih sering lubee lakukan meskipun sendirian.
            Di lain tempat, koksi dan teira asik bermain. Loncat dari satu daun ke daun yang lain, bernyanyi dan menari menikmati hari. “Seperti inilah hidup, di nikmati dengan bermain-main tidak hanya bekerja” ucap teira kepada koksi. Koksi tersenyum, dia menikmati hari tapi di dalam hatinya seperti ada yang hilang apalagi saat melihat tanah. Dibawah sana, dulu dia sering bermain petak umpet bersama lubee.
            Musim hujan telah datang, teira berpamitan pulang kembali kerumahnya. Koksi tersadar bahwa dia harus mencari tempat berlindung dari hujan.
“Tapi dimana? Bukankah aku yang telah memutuskan untuk pergi dari rumahku?”.
Koksi kebingungan mencari tempat berlindung, badannya demam terguyur air hujan, pelan-pelan koksi berjalan menuju rumah lubee. Sebenarnya koksi tidak mau tapi kondisi badannya semakin lemah. Sampai depan pintu rumah, lubee menangis melihat kondisi sahabatnya segera lubee menyelimuti dan merawat sahabatnya.
Keesokan harinya kondisi koksi mulai membaik, dengan kondisi badan yang masih lemah koksi berpamitan dan minta maaf karena telah merepotkan.
“Tinggallah di sini bersamaku koksi, seperti dulu”
“tidak lubee, saya malu telah banyak merepotkanmu bahkan memarahimu”
“lupakan hal yang sudah berlalu, di sini saya membutuhkan bantuanmu untuk mengusir hama”

Lubee dan koksi saling berbagi dan mengerti bahwa kejadian kemaren merupakan ulah teira.  Kini, persahabatan mereka terjalin dengan rasa kepercayaan. Hari-hari mereka nikmati dengan bekerja dan bermain bersama.

Rabu, 17 Juni 2015

Dika Si Ikan Petualang

Di sebuah sungai perdalaman hutan, hiduplah seekor ikan yang senang bermain  di dekat permukaan air. Setiap hari ikan tersebut bermain-main dengan memperlihatkan sebagian kecil dari wajahnya kepermukaan sungai. Sesekali ekor mungilnya mengibas-ibaskan air sehingga muncul gemericik air sungai ke permukaan. Kalau sudah begitu, tidak ada satu ekor ikanpun yang mampu mencegah tindakan berbahayanya.
Suatu hari, ikan kecil tersebut meminta ijin kepada orangtuanya untuk bermain di batu terlarang, sontak kedua orangtua ikan kecil marah. Batu terlarang merupakan perbatasan antara ikan dan buaya. Setiap ikan yang mendekat ke wilayah tersebut pasti di terkam buaya.
“bermain di permukaan saja sudah membuat ibu khawatir dika, apalagi pergi ke wilayah batu terlarang” ucap ibu dika. Dika adalah nama dari ikan kecil itu.
Dika si ikan kecil merasa kecewa dengan ucapan ibu. Tapi, dika tidak pernah membatah apapun yang di ucapkan orangtuanya, dika hanya terdiam kemudian menangis sedih di kasur kamarnya yang terbuat dari tumpukan batu dan di tumbuhi oleh rumput-rumpuh laut di sisi kirinya. Untuk saat ini, hanya tumpukan batu yang bergambarkan pertualangan-petualangan dika lah yang di rasa dapat mengerti perasaan dika saat ini batin dika.
Kakek kodok yang di tolongnya saat tergelicir di ujung batu sungai, karena kakinya terluka. Ibu kura-kura yang kelelahan berenang ketika akan melahirkan, kemudian dika membantu mendorongnya ketepi sungai, kupu-kupu yang bernyanyi di atas permukan laut kemudian mereka bersahabat dan saling bercerita tentang dunianya. Dika mengeja satu persatu teman-teman baru yang ditemuinya saat berpetualang di permukaan air.
“indah si kupu-kupu” batin dika, dika tiba-tiba berenang dan tertawa kegiraan. “indah si kupu-kupu, pasti dia dapat membantuku untuk melihat seperti apa batu terlarang”
Dengan semangat petualangnya dika menemui sahabatnya indah sikupu-kupu
“Assalamualaikum indah…”
Indah yang sedang tertidur di kucup bunga melati yang sedang mekar tersontak kaget mendengar suara dika
“Wa..wa’alaikum salam” jawabnya dengan nada agak kesal.
“iya, iya.. ma’af, sudah mengagetkan mu. Heheheee…”
Kemudian dika mencipratkan sedikit air dengan ekornya kepermukaan, yang mengenai sayap-sayap indah.
“Heheee… indah kena”
Indah si kupu-kupu membalas perbuatan dika dengan meniupkan sari-sari bunga, kedua sahabat itu bermain dan tertawa. Usai bermain dan tertawa, dika menyandarkan sirip-sirip kecilnya ke batu besar yang ujungnya berada di atas air sedangkan indah membiarkan sayap-sayapnya terjemur matahari di atas permukaan bunga mawar yang sedang bermekaran.
            “indah, ada yang ingin aku bicarakan padamu. Bisakah aku meminta tolong agar kau pergi ke batu terlarang?”
Indah yang sedang duduk santai diatas bunga mawar, terkaget dan terbang ke sisi batu
            “Batu terlarang, tempat para buaya? Oh… tidak, aku tidak bisa dika”
            “Tolonglah indah, aku ingin sekali tahu seperti apa batu terlarang. Tapi kedua orangtuaku melarangnya. Aku hanya ingin kau terbang tinggi ke batu terlarang kemudian menceritakan kepadaku seperti apa kehidupan mereka”
            “ma’af dika, aku tidak bisa. Aku takut. Meskipun aku bisa terbang tinggi”
            “baiklah, aku akan menemanimu. Agar kau tidak takut saat terbang di atas batu terlarang”
            “tapi itu sangat berbahaya dika”
            “tenang saja, aku hanya berenang sampai keperbatasan batu terlarang dan desa antic. Aku berjanji tidak akan melebihi wilayah itu. Dari situ aku akan mengawasimu dan memberimu kode jika terjadi sesuatu yang berbahaya”
            “tapi… ya sudah aku akan menolongmu, tapi hanya satu kali ini saja ya ke batu terlarang”.
            Pagi-pagi sekali, kedua sahabat ini memulai petualangannya. Mereka menyusuri arus yang cukup deras dan sesekali berhenti karena turun hujan. Pernah sekali, ekor dika terjerat tumbuhan berduri. untung saja dika bisa terlepas dari jeratan tumbuhan tersebut. Dika menggigit duri yang ada didepannya dan memaksakan tubuhnya untuk maju. Meskipun terluka, tapi dika bersyukur telah selamat dari kejadian tersebut.
            Indah dan dika hampir telah sampai di perbatasan desa antic, di depan sana sudah terlihat wilayah batu terlarang. Tumpukan batu yang menjulang tinggi hingga kepermukaan air merupakan perbatasan wilayah mereka. Konon, nenek moyang bangsa ikanlah yang menggumpulkan batu dari dasar sungai dan menyusun batu tersebut menjadi satu agar bangsa ikan terbebas dari serangan buaya. Para buaya tidak pernah menyentuh perbatasan tersebut, karena di balik batu-batu tersebut dipasang perangkap-perangkap yang dapat melukai buaya apabila mereka memaksa untuk menerobos batu. Sebab itulah batu tersebut dinamakan batu terlarang.
            Setelah sampai diperbatasan, dika memberikan intruksi kepada indah “terbanglah yang tinggi sahabatku, kemudian sembuyilah dibalik dedaunan. Lihat dan dengar apa yang para buaya bicarakan. Aku tidak dapat berenang lebih jauh, karena telah berjanji kepada orangtuaku tidak mendatangi wilayah batu terlarang. Tapi aku akan memberikan mu kode, dengan pecikan air melalui kibasan ekorku”
            Indah yang ketakutan hanya mengganguk dan terbang tinggi mengikuti pemintaan temannya, pelan-pelan indah hingga di antara dedaunan yang lebat sehingga kawanan buaya tidak menyadari kehadiran indah. Melihat kondisi kawanan buaya yang memakan daging ayam hutan dengan lahap, perut indah jadi terasa mual dan merasakan pusing. Dengan sayapnya indahnya, indah sikupu-kupu menutupi hidugnya.
            “untung saja aku memiliki sayap, kalau tidak bisa pingsan aku disini”
Belum selesai kengerian indah, dia sudah mendengar perbincangan kawanan buaya yang akan mendobrak batu terlarang. Indah mengosok-gosok telinganya “Jangan-jangan, aku salah dengar.. tidak… aku tidak salah dengar”
            Secepat kilat indah terbang kearah dika, “huhuuuhu..” dengan nafas terengah-engah indah bercerita tentang rencana para buaya “tenang indah, ambil nafas dulu. Supaya bicara mu tidak terengah-engah. Aku tidak mengerti ucapanmu”
            “buaya akan mendobrak batu terlarang dengan kayu, mereka akan…”
Belum selesai indah berbicara, dika sudah berenang kembali ke desa antic. “tunggu dika, tunggu”. Dika yang kaget dengan ucapan indah, tidak menghiraukan ucapan indah. Bukannya tidak perduli, tapi dika harus menyelamatkan desanya.
Sesampainya di desa, dika menceritakan hal tersebut kepada teman-teman dan warga sekitar, tapi mereka hanya tertawa. “dika, dika… kamu ada-ada saja”
Orangtua dika pun tidak percaya, “mungkin temanmu kecapean jadi salah dengar, sudah sekarang kamu makan trus istirahat”.
Dika bingung, dika tidak bisa tidur sepanjang malam. Hanya bolak-balik dari kamarnya. Akhirnya dika memutuskan untuk membuat persembunyian yang cukup untuk menampung ikan-ikan di desa antic jika diserang buaya, wilayah kakek kodok yang dekat dengan permukaan air dipilihnya sebagai tempat yang strategis. Disana juga ada keluarga kakek kodok, pasti mereka mau membantu dika untuk mencarikan persembunyian.
            Minggu demi minggu, dika membuat persembunyian di desa kakek kodok dengan dibantu sahabat-sahabatnya yang dika kenal saat bermain di permukaan air dan indah sikupu-kupu juga siap membantu sahabatnya dika. “indah, maaf ya waktu itu dika ninggalin indah. dika terburu-buru”.
            “iya dika, gak papa.. indah ngerti kok”. Kedua sahabat itu tersenyum.
            Pagi hari saat dika sedang sarapan. seekor ibu ikan gendut dari pasar berteriak dan berenang cepat, dengan keranjang belanjaan yang masih ada disirip sang ibu ikan gendut berteriak dengan kencang “Buaya… buaya, ada buaya”. Ikan-ikan di desa antic merasa heran, mereka tidak percaya dengan ucapan ibu ikan gendut. Dika yang mendengar terikan tersebut langsung berenang ke teras rumah, disana dika telah menyiapkan peralatan perangnya.
            Dengan sigap dika, memasang rumput-rumput yang berisi tinta keluarga cumi yang dia dapatkan dari burung laut dan dengan menggunakan mulutnya dika memasang tumbuhan berduri. Kemudian, dika berlari ke atas dengan berteriak kencang “Kepada masyarakat desa antic, dengar dan ikuti kemana dika berenang”. Suara kawanan buaya yang makin dekat membuat warga desa antic menjadi panic. Hal tersebut telah diprediksi dika, kemudian dika menyakan lampu yang dipasang di atas kepalanya sebagai tanda bahwa dika memiliki solusi. Warga yang panic mengikuti kemana dika berenang, sedangkan kawanan buaya tidak dapat melihat karena tertutup tinta cumi dan menginjak tumbuhan berduri.

            Dika membawa warga desa antic ke desa bersama tempat kakek kodok tinggal, disana mereka merasa lega telah terselamatkan dari kawanan buaya yang siap menerkam mereka. “Terimakasih dika, maaf kami tidak mempercayaimu sebelumnya”. Gemuruh suara warga bersorak atas perbuatan baik dika. Ibu dan bapak dika tersenyum dan memberikan pelukan hangat kepada dika. Kini mereka tingga di desa bersama, disana hidup berbagai jenis hewan seperti keong, cacing tanah, kodok dan dika merasa senang karena dapat bermain di permukaan dan hidup dekat dengan teman-temannya seperti indah sikupu-kupu.

Gula dan Kopi

Alkisah, sepasang kakak (5th) dan adik (3rd) sedang mengamati ayahnya minum secangkir kopi diteras rumah. Hampir setiap hari ayah dari kedua anak tersebut meminum kopi. Terutama saat cuaca mendung. Kedua anak tersebut heran dengan kebiasaan ayahnya. “Apa istimewanya air yang berwarna hitam itu?”.
Perlahan, sepasang kaki-kaki mungil itu mendekati sang ayah “ayah, kopi itu enak?”
“enak, tapi kalau diberi tambahan gula” jelas ayah sambil meminum sedikit demi sedikit kopi yang masih panas. mereka berdua masih terlihat bingung dengan penjelasan sang ayah “kalau kopi enak pake gula, kenapa tidak diberi nama gula kopi?”.
Sang ayah tersenyum, sambil mempersilahkan kedua buah hatinya duduk di pangkuannya. Kopi tanpa gula memiliki makna yang hampir sama dengan sayur tanpa garam. Mereka ada, tapi terkadang mereka tidak berwujud bahkan tidak disebut-sebut namanya. Meskipun demikian siapa saja penikmat kopi mengerti kalau gula merupakan bagian terpenting dari secangkir kopi yang nikmat.
Seperti itulah kehidupan ini, anakku. Tidak perlu kita menginginkan disebut atau memperlihatkan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain, yang terpenting kebaikan yang kita lakukan akan bermanfaat untuk orang lain. Bukankan yang menjadikan gula istimewa karena manfaatnya? Bentuk atau rupa tidak menjadi ukuran, tetapi manfaat kebaikan-kebaikanlah yang menjadi nilai terpenting dalam kehidupan kita.

Sepasang kakak dan adik saling melempar senyum mendengar penjelasan ayah. Sore hari itu, gerimis membahasi rumah dan tanah-tanah yang kering. Tapi, hawa dingin yang tertiup ikut menghangat dengan tawa seorang ayah serta kakak dan adik diteras rumah sambil ditemani secangkir kopi panas.